Cerpen Lampu

#30HariMenulis_Hari_13
#Lampu

"Sedang apa kau disini?"sapanya sedikit kaget, namun dapat terkendalikan dengan tersenyum kecil, menyambut ku.

Sejenak aku terpana, masih tertawan dengan senyuman itu. Senyuman lelakiku yang membuat usia 23 tahunku terasa berbunga- bunga.
Tidak, Tidak. Aku harus memanfaatkan waktuku. Jangan sampai waktu yang diberikan padaku habis terbuang sia-sia.

Aku menegakkan punggungku, melempar senyum manis seperti biasanya. "Aku ingin kau melamarku. Kalau kau keberatan dengan mahar yang diajukan Ibuku, aku akan membantumu diam-diam," aku menghela nafas, mengamati ekspresinya. Benar, seperti ini kejadian aslinya.

Alisnya berkerut, tangan kanannya menopang dagu. "Kenapa kau tiba-tiba ingin aku melamarku?" Tanyanya datar. Entah kenapa tatapan dinginnya membuatku bergidik kembali. Bertahanlah, hanya dia satu-satunya orang yang kau percayai.

"Aku hamil."ucapku merasa ragu, sebuah tespect dengan dua garis biru aku angsurkan kehadapannya. Selangkah lagi, semua akan lebih mudah jika ia mengetahui kondisiku sebenarnya.

Tatapannya melembut. Diraihnya tespect itu, senyum miringnya tercipta,"Baiklah, aku akan melamarmu malam ini juga."

°°°

Waktuku tidak banyak lagi, setelah menggelar pernikahan yang telah aku pikirkan seperti sebelumnya. Malam ini aku akan memberitahu suamiku yang sesungguhnya.

Acara sudah selesai, aku pulang dari gedung bahkan tanpa repot-repot diantar keluargaku. Hanya aku dan laki-laki yang menjadi suamiku kini

Rumah suamiku terasa lengang. Ini kali pertama ku mengunjunginya. Sepi dan tidak ada seorangpun yang berada disini. Eh, tentu saja selain aku dan suamiku yang entah sedang berada dimana.

Aku berkeliling memasuki kamar-kamar yang entah kenapa banyak. Sebuah kamar di ujung lorong lantai dua membuatku penasaran, tadi selesai acara suamiku sempat mampir kesini. Ruang apa, ya?

Kriettt..

Tidak kusangka pintu itu mudah dibuka. Sepertinya ruangan tua ini sering dimasuki pemiliknya. Apakah ini gudang rahasia?

Aku mencari saklar, setelah lampu menyala aku menatap sekeliling yang terang-benderang. Sebuah lampu besar tergantung ditengah ruangan. Kemudian, lampu-lampu kecil lainnya menyebar di dinding maupun meja. Lima belas, bukan bahkan ada 24 lampu. Aku pikir dia bukan penjual lampu. Tapi mengapa semua lampu ini terasa familiar di suatu tempat. Ah, lampu kan dimana-mana sama. Aku menepis pikiran burukku.

Lampu-lampu indah. Benderang dengan kristal-kristal yang menggantung. Aku berkeliling, menyentuh lampu itu satu-satu. Mengapa lampu di ujung sini lebih kecil dan cahayanya lebih redup?

Sudut itu tidak terlalu luas. Tapi herannya, cahaya lampu yang terang itu seolah sengaja tidak diarahkan kesini. Langkahku menelan, sebuah buffer dengan banyak cara, buku maupun foto tertata rapih disana. Aku memperhatikan salah satu foto yang aku rasa itu fotonya saat sekolah dasar. Sungguh aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Selama ini hanya aku yang berkeluh kesah, menumpahkan kekacauan ku setelah kabur dari rumah dan tidak ada orang yang aku percayai lagi selain dia. Aku tersenyum, ttp itu kuletakkan. Tanganku terulur mengambil sebuah buku, namun aku tersentak saat buffer itu bergetar berisik dan bergeser tiba-tiba. Sebuah ruangan berbau debu dan amis menyambutku. Aku bergetar, tapi rasa penasaran yang memuncak membuatku tetap meraih saklar lampu. Lagi-lagi ruangan itu terang benderang. Tidak, bahkan jumlah lampu disini lebih banyak dibanding diluar tadi. Sebuah lampu besar yang unik membuatku teringat, itu adalah lampu tidur pada rumah kamarku yang hilang saat aku remaja. Aku menghampirinya, mengecek hiasan dibawah tatakan lampu pemberian kakek saat itu. Dan aku terkejut jika sungguh ada namaku disana. Apa yang terjadi? Tatapanku melihat sebuah goresan baru seperti angka didekat namaku. Itu 0482021, tunggu, ini seperti sebuah tanggal. Dadaku berdebar berusaha mengingat apa yang terjadi pada tanggal itu.

#word count +500